Nuzul Qur'an dan Jam'ul qur'an
NUZUL
QUR’AN DAN ZAM’UL QUR’AN PADA MASA NABI
A. PENGERTIAN NUZUL QUR’AN
Nuzul Qur’an yang secara harfiah
berarti turunnya Al-Qur’an (kitab sucu umat islam) adalah istilah yang merujuk
kepada peristiwa penting penurinan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul
terakhir agama islam yakni nabi Muhammad SAW.
Secara terminologis yang dimaksud
dengan nuzul al-qur’an adalah cara dan fase turunnya Al-Qur’an dari Allah
SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Seperti di
sebutkan dalam kitab-kitab ulumul qur’an bahwa sebelum diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW, Al-Qur’an terlebih dahulu diturunkan Allah kepada ke lauh mahfuzh, kemudian dari
lauh mahfuzh diturunkan ke baitul izza’
di langit dunia . barulah dari baitul ‘izzah itu Al-Qur’an diturunkan melalui
perantaraan malaikat jibril AS secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad
SAW.
1.
Cara dan fase nuzul qur’an
Al-Qur’an
al karim diturunkan Allah SWT dalam 3
fase : (1) diturunkan sekaligus ke lauh mahfis (2) di turunkan ke bait al-izzah
di langit dunia (3) di turunkan oleh nabi Muhammad SAW secar berangsur-angsur.
Kapan
dan bagaiman carnya Al-qur’an diturnkan ke lauh mahfiz adalah masalah gaib
hanya Allah SWT yang mengetahuinya . yang jelas , kata syaid Qutub , keberadaan
Al-Qur’an di lauh mahfiz menunjukkan bahwa Al-Qur’an terperihara dan akan
selalu jadi rujukan akhir, yang mencakup segala persoalan, dan kepadanya lah di
kembalikan semua perkataan.
Menurut
Azzar kani Al-Qur’an di turunkan ke lauh mahfiz sekaligus, tidak bertahap
seperti tapkala di turunkan kepada nabi Muhammad SAW. Argument azzar kani : (1)
teks ayat sendiri menunjukkan hal itu (2) tidak ada alas an Al-Qur’an harus
ditirunkan bertahap pada fase ini, karena hikmah diturnnya Al-Qur’an secara
bertahap tidak akan terwujud dan tidak juga tidak diperlukan.
Al-Qur’an
diturunkan sekaligus ke baitul ‘izzah fi assama adunya pada malam Qadar
semuanya bersumber dari ibni abbas, bukan dari rasululah SAW. Artinya dari segi
sanat riwayatnya berstatus muakuf, bukan marfuk akan tetapi karena menyangkut
masalah goib , dimana ibnu abnas tidak mungkin dapat mengetahiunya sendiri
tanpa pengetahuan dari nabi Muhammad SAW, maka riwayat tersebut sekalipun
maukuf dia bernilai marfuk
Dari
bait al izza dari langit dunia, kemnudian Al-Qur’an diturunkan kepada nabi
Muhammad SAW pertama kali pada malam Qadar. Malam yang diberkati, yaitu pada
salah satu malam bulan Ramadhan. Setelah itu diturunkan secara berangsur-angsur
selama kurang lebih 23 tahun.
Kitab
suci Al-Qur’an di turunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW secar
berangsur-angsur dalam dua periode maka di mulai pada malm 17 ramadhan tahun 41
dari milad nabi sampai dengan 1 Rabi’Al-awal tahun 54 dari milad nabi (12 tahun
5 bulan 13 hari ) sedangkan periode
madinah dimulai tanggal 1 rabi’ al-awal tahun 54 sampai dengan 9 dzulhijjah
tahun 63 dari milad nabi atau bertepatan dengan tahun ke-10 dari hijrah jadi
total lama kedua periode tersebut adalah 22 tahun 2 bulan 22 hari. Dalam
anggapan orang-orang kafir, baik Ahlul kitab maupun kaum musyrikin, kitab-kitab
yang datang dari tuhan, lazimnya diturunkan secara sekaligus. Mereka meragukan
Al-Qur’an sebab diturunkan dengan car-cara yang dianggap beda dengan cara
penurunan kitab-kitab samawi lainnya. [1]
Kitab
suci kaum muslimin, yang berisi kiriman wahyu ilahi yang diturinkan kepada nabi
Muhammad SAW selama kurang lebih 23
tahun, secar popular dirunjuk dengan nama Al-Qur’an. Sebagian besar sarjana
muslim memandang nama tersebut secara sederhana merupakan kata benda bentukan
(masdar) kata kerja (fi’il) “membaca’’ dengan demikian Al-Qur’an bermakna
“bacaan” atau “yang dubaca”
Nama alternatif lain yang
digunakan untuk Al-Qur’an menurut mayiritas sarjan muslim adalah furqan , para
mufassir muslim berupaya mengaitkan istilah ini dengan kata krja faraqa “diskrriminasi, memisahkan,
membedakan “ dan menjelaskannya memiliki makna telogi “pembeda antara yang hak
dan yangTurunnya Al-Qur’an
secara bertahap.
Proses
yang kedua ini Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dari langit dunia ke dalam
hati nabi Muhammad saw secara berangsur-angsur selama 23 tahun.[2]
Firman Allah dalam surat Al-Syu’ara : 192-195
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ
عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan
sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam(192)dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril)(193) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi
peringatan(194) dengan bahasa Arab yang jelas(195) “
Dan dalam
surat Al-Baqarah : 23
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ
“Dan jika
kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba
Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu..”
Dan surat
Al-Baqarah: 97
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Katakanlah:
Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al
Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang
beriman.”
Dari ayat-ayat diatas, Manna al qattan menyimpulkan bahwa Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang lafadznya berbahasa Arab, dan Jibril yang telah
menyampaikannya ke dalam hati Rasulullah, dan turunnya ayat ini menunjukkan
bahwa Al-Qur’an ini diturunkan secara berangsur-angsur, bukan seperti turunnya
pertama kali ke langit dunia.[3]
Jadi, Al-Qur’an diturunkan “bertahap” setelah turunnya pertama kali ke
langit dunia secara keseluruhan pada malam lailatul qadr di bulan ramadhan.
Sebagian ulama berpendapat, itu terjadi selama 23 tahun. 13 tahun di Makkah,
dan 10 tahun di Madinah. Sebagian lain berpendapat turunnya secara bertahap itu
selama 25 tahun, dan sebagian lain 20
tahun. Namun pendapat yang kuat menurut Manna al Qattan adalah 23 tahun, 13
tahun di Makkah, dan 10 tahun di Madinah.
Hikmah diturunkan Al-Qur’an secara
bertahap :
1. Agar lebih mudah
dimengerti dan dilaksanakan. Orang akan enggan melaksanakan suruhan, dan
larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal
ini disebutkan oleh Bukhari dari riwayat Aisyah ra.
2. Diantara ayat-ayat
tersebut ada yang nasikh dan mansukh
3. Turunnya suatu ayat
sesuai dengan peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih
berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan.
Orang-orang musyrik yang telah menyakan mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan
sekaligus, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan : 32
5. Diantara ayat-ayat ada
yang merupakan jawaban dari pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau
perbuatan, sebagaimana dikatakan oleh ibnu Abbas ra. Hal ini tidak dapat
terlaksana kalau Al-Qur’an diturunkan sekaligus.
Ulama
berbeda pendapat mengenai ayat yang pertama diturunkan. Pendapat pertama yang shahih menurut Assuyuti adalah ayat pertama
surat al ‘alaq,
Berdasarkana
hadits yang diriwayatkan oleh syaikhani, dan yang lain.Aisyah r.a. berkata,
"yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang baik
di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi melainkan akan menjadi kenyataan
seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian beliau gemar bersunyi. Beliau sering
bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di sana, yakni beribadah beberapa malam
sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan mengambil bekal untuk itu. Kemudian
beliau pulang kepada Khadijah. Beliau mengambil bekal seperti biasanya sehingga
datanglah kepadanya (dalam riwayat lain disebutkan: maka datanglah kepadanya)
kebenaran. Ketika beliau ada di Gua Hira, datanglah malaikat seraya berkata,
'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan
mendekap saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia
berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca:'
Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan
saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa
membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia
melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq.
Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam.
'Allamal insaana maa lam ya'lam. 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah
saw. pulang dengan membawa ayat itu dengan perasaan hati yang goncang (dalam
satu riwayat: dengan tubuh gemetar).[5]
Pendapat kedua, yang pertama kali turun adalah firman Allah
:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Syaikhani : Dari Abu salamah bin
Abdurrahman; dia berkata: “Aku telah bertanya kepada Jabir bin Abdullah: Yang
manakah diantara Quran itu yang turun pertama kali? Dia menjawab: Ya Ayyuhal Mudatsir. Aku bertanya lagi:
ataukah Iqra bismi rabbik? Dia
menjawab: aku katakana kepadamu apa yang dikatakan Rasulullah saw kepada kami:
“sesungguhnnya aku berddiam diri di gua Hira, maka ketika habis maasa diamku,
aku tuun lalu aku telusuri lembah. Aku lihat ke muka, ke belakang, ke kanan dan
ke kiri. Lalu aku lihat ke langit, tiba-tiba aku melihat jibril yang amat
menakutkan. Maka aku pulang ke khadijah, khadijah memerintahkan mereka untuk
menyelimutiku. Merekapun menyelimuti aku. Lalu Allah menurunkan : ‘Wahai orang yang berselimut; bangkitlah,
lalu berilah peringatan.’ ”[6]
Mengenai pendapat kedua ini, Jabir menjelaskan bahwa yang pertama kali
turun secara penuh adalah surat al-Mudatsir, sebelum surat Al-‘Alaq tuntas
diturunkan. Dan surat Al-mudatsir turun setelah sekian lama wahyu terhenti
turunnya. Jadi bisa kita ambil kesimpulan bahwa ayat yang pertama turun adalah Iqra dan surat yang pertama turun untuk
risalah adalah Al-mudatsir.
Ibnu Hajar al atsqalani dalam Fathul
Baari mengatakan mengenai masa tidak turunnya wahyu. Dalam kitab sejarah
karangan Ahmad bin Hanbal terdapat riwayat dari Sya’bi yang mengatakan, bahwa
masa tidak turunnya wahyu adalah 3 tahun, pendapat ini dikuatkan oleh ibnu
Ishaq.[7]
Pendapat lain, surat
yang pertama kali turun adalah surat Al- Fatiha. Ada juga yang berpendapat yang
pertama kali turun adalah Bismillahirrahmaanirrahiim.
Akan tetapi dalil yang mendukung kedua pendapat ini hadits-hadits Mursal.
Sedangkan
surat yang terakhir turun, juga ada beberapa pendapat, antara lain :
1. Ayat yang
terakhir turun adalah tentang riba. Sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari dari
ibn Abbas, ia berkata : “Ayat yang terkhir turun adalah tentang riba” maksudnya
adalah surat An- nisa 176
2. Dikatakan
pula, yang terakhir turun adalah surat at-taubah
1. Metode jam’u Al-Qur’an
pada masa Nabi
Jam’ul-Qur`ân
artinya pengumpulan al-Qur`an. Maknanya mencakup dua pengertian, seiring dengan
prosesnya itu sendiri, yakni hifzhuhu; penghafalan dan kitâbatuhu kullihi;
penulisannya secara keseluruhan.[8] As-Shabuniy membahasakannya al-jam’ fis-shudûr; pengumpulan dalam dada
dan al-jam’ fis-suthûr; pengumpulan
dalam tulisan[9]
Di
sini kita perlu memperhatikan penggunaan kata ‘pengumpulan' bukan ‘penulisan'.
Dalam komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan
kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri. Sebenarnya, Kitab
Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi Muhammad. Hanya saja belum
disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun."[10] Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master
volume) boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang
muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam ayat
tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya satu format
halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang baru serta surahnya
karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa saat sebelum Nabi Muhammad
wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad berarti wahyu berakhir untuk selamanya.
Tidak akan terdapat ayat lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini
berarti kondisi itu telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan
Al-Qur'an ke dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam
pengambilan keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat
mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para sahabat
dalam memberi pelayanan terhadap AlQur'an sebagaimana mestinya memenuhi janji
pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,[11]
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”
Ibn
Hajar al-’Asqalaniy sedikit berbeda memaknai Jam’ul-Qur`ân. Menurutnya,
walaupun al-jam’ bisa bermakna al-hifzh, tapi dalam kaitannya dengan proses
pengumpulan al-Qur`an, maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke
dalam shuhuf di zaman Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di
zaman ‘Utsman. Hal ini didasarkan pada tarjamah al-Bukhariy dalam kitabnya,
al-Jâmi’ as-Shahîh, ditambah sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit: "Saat
Nabi Muhammad wafat, Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku."[12]
Sebagaimana
di atas, proses Jam’ul-Qur`ân di masa Nabi Saw mencakup dua kegiatan, yaitu
penghafalan dan penulisan. Kegiatan
penghafalan itu terdapat dalam hadits berikut ini:
Dari
Ibn ‘Abbas perihal firman Allah Ta’ala “Janganlah kau menggerakkan lisanmu karena
tergesa-gesa”: Rasulullah Saw merasa berat ketika turun wahyu sampai beliau
menggerak-gerakkan kedua bibirnya. Lalu Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah kau
gerak-gerakkan lisanmu karena tergesa-gesa. Sesungguhnya tangung jawab kami
mengumpulkannya dan membacakannya.” Ibn ‘Abbas berkata: Yaitu mengumpulkannya
dalam dadamu dan kau mampu membacanya. “Maka apabila Kami membacakannya, maka
ikutilah bacaannya.” Yaitu perhatikanlah dan diamlah. “Kemudian sesungguhnya
tanggung jawab kami menjelaskannya.” Yaitu, sesungguhnya tanggung jawab kami
kau dapat membacakannya. Maka Rasul Saw setelah itu apabila Jibril datang
kepadanya, beliau menyimaknya. Dan apabila Jibril telah pergi, Nabi Saw
membacakannya sebagaimana Jibril membacakannya[13]
Jelas
sekali dalam riwayat tersebut jam’ bermakna hafalan. Dan Nabi Saw melakukannya
dengan jaminan penuh dari Allah Swt akan keakuratannya. Selain itu, Nabi Saw
juga menggiatkan para shahabat untuk bisa membaca al-Qur`an di luar kepala.
Penulisan. Saat wahyu turun, Nabi
Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat
itu. Zaid bin Thabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam
Nabi Muhammad, la sering kali dipanggil diberi tugas penulisan saat wahyu
turun.[14]
Sewaktu ayat al-jihad turun, Nabi Muhammad memanggil Zaid bin Thabit membawa
tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; 'Amr bin Um-Maktum al-A'ma
duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, "Bagaimana tentang saya? Karena
saya sebagai orang yang buta." Dan kemudian turun ayat, "ghair uli
al-darar" [15](bagi
orangorang yang bukan catat). Tampaknya tak ada bukti pengecekan ulang setelah
mendiktekan. Saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi
Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.[16]
Di samping itu sebagian sahabat juga menuliskan Al-Qur’an yang turun itu atas
kemauan mereka sendiri, tanpa diperintahkan oleh nabi. Mereka menuliskannya
pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang. Zait bin Tsabit berkata: “ Kami menyusun
Quran dihadapan Rasululah pada kulit binatang”[17]
2.
Faktor-faktor pendorong jam’u Al-Qur’an pada masa Nabi
Pada
masa nabi Muhammad saw jam’u Al-Qur’an belum sepenuhnya didasari oleh kesadaran
umat atau sahabat untuk mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini disebabkan oleh
keberadaan nabi itu sendiri di tengah umatnya. Sehingga setiap persoalan yang
dihadapi selalu bisa ditemukan solusinya lansung kepada rasulullah. Bisa
dikatakan jam’u Al-Qur’an di masa Nabi tersebut merupakan perintah lansung dari
nabi Muhammad saw, baik penghafalan maupun penulisan. Hal ini tidak terlepaas
dari firman Allah
B.
JUM’UL QUR’AN
Kata jam’ul berasal dari kata “jam’a yajma’u” yang berarti pengumpulan
atau penghimpunan. Adapun makna Al-Qur’an menurut bhasa, kata qur’an adalah
bentuk masadar (kata benda verbal) dari qar’a yang berarti membaca, baik
membaca dengan melihat tulisan ataupun car menghafal jadi jam’ul Qur’an berarti
upaya mengumpulkan Al-Qur’an yang berserakan untuk di benahi atau di selidiki.
Menunjuk kepada defenisi Al-qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh
para ulama Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW dan di nukil kepada kita secara mutawatir serta di nilai
beribada ketika membacanya.
Semasa hidup Rasulullah SAW, Al-Qur’an dilakukan melalui dua cara ,
hafalan dan penulisan. Al-Qur’an secar lisan telah dinukuli melalui hafalan
dari rasulullah kepada para sahabat . oleh karena itu jumlah para penghafal
Al-Qur’an di klngan para sahabt tidak terhitug jumlahnya. Barng kali sejarah
catatan cukup untuk menjadi bukti . Antara lain : as-shabuni, mengutip laporan
al-Qurthubi menyatakan bahwa jumlah bufaddil
senior yang meninggal dalam perang Yamamh lebih dari 70 orang sedangkan
yang terbunuh dalam perang Bi’r Mau’nah jumlahnya juga hamper sama, berarti
total jumlah bufaddl yang terbunuh
saja dalam dua kasus peperangan tersebut adalah 140 orang .
Namun
ketika penulisan Al-Qur’an ini dilakukan oleh para penulis wahyu ketika itu
oang arab belum mengenal kertas, istlah waraq
pada zaman itu istilah untuk menyebut daun kayu saja sedangkan qirtash digunakan untuk menyebut
benda-benda untuk menulis, seperti kulit binatang, batu tipis , pelapah kurma,
tulang binatang dan lain-lain. [18] Pada masa awal Islam
al Qur’an sudah dicatat oleh sahabat dalam berbagai wadah seperti ditulis di
pelepah-pelepah korma dan lempengan batu dan lainya, namun kegiatan ini masih
bersifat temporari tidak terkumpul dalam satu wadah tertentu, sehingga masih
bertebaranan dimana-mana.
Setelah wafatnya
Rasulullah kegiatan pengumpulan al Qur’an berkembang, tidak hanya dalam bentuk
penulisan di lembaran-lembaran yang bertebaran saja namun penulisan ini
dimaksudkan untuk mengumpulknnya dalam satu kumpulan mushaf sehingga proses
tersebut dilakukan guna terwujudnya sebuah kumpulan kitab al Qur’an.
Dapat disimpulkan bahwa
jam’ul Qur’an berarti merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para
sahabat setelah wafatnya Nabi SAW dengan jalan mengumpulkan seluruh mushaf dan
catatan serta hafalan-hafalan yang tersebar sehingga terkumpul dalam satu
kumpulan yang satu dan terjamin kebenarannya dengan ijtihad para sahabat dalam
menjaga al Qur’an itu sendiri.
A. Faktor-faktor Jam’ul
Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin
Pada awalnya proses
pengumpulan al Qur’an pada masa Khalifah Abu Bakar terjadi pertentangan antara
para sahabat sehingga memerlukan ijtihad untuk meyakinkan khalifah, sahabat
yang menggagas pengumpulan al Quran ini adalah Umar bin Khaththab, pada awalnya
gagasan Umar tersebut ditolak oleh Abu Bakar, namun setelah Umar meyakinkan Abu
Bakar betapa pentingnya pengumpulan al Qur’an ini, ketika Abu Bakar
menyampaikan hal yang sama kepada sahabat Zaid bin Harits beliau juga menolak
tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar dan Umar barulah Zaid menerima dan
mulai mengumpulkannya.
Peristiwa pertentangan
antara sahabat dalam mengumpulkan al Qur’an ini diisyaratkan dengan khabar yang
diriwayatkan oleh Ibnu Jurair dari anak
Zaid bin Tsabit Al Anshari dari bapaknya berkata tatkala banyaknya
sahabat yang bergugguran pada perang Yamamah[19]
maka Umar bin Khaththab r.a. mendatangi Abu Bakar r.a. mengatakan sungguh para
Sahabat Rasulullah SAW yang berada pada perang Yamamah sudah terdesak seperti
terengah-engahnya kuda di neraka. Saya takut tidak akan bisa bertemu dengan
mereka lagi, sedangkan mereka adalah penghafal al Qur’an, dengan sahidnya
mereka akan memudarnya al Qur’an dan akan terlupakan jika tidak di kumpulkan
dan di tulis ulang, pada awalnya Abu Bakar menolak melakukannya karena tidak
mungkin dia membuat sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah hal yang sama
juga dilakukan Zaid terhadap gagasan tersebut namun kemudian Umar meyakinkan
keduanya. Kemudian setelah Umar bisa meyakinkan keduanya baru Abu Bakar
memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Al Qur’an. Dalam
kisah yang lain menyatakan bahwa saat setelah Umar meyakinkan Zaid kemudian
Umar pergi lalu Zaid merasa mendapar petunjuk dalam dirinya bahwa apa yang
disampaikan Umar tersebut adalah benar. Baru Zaid memulia mengumpulkan dan
menulis Al Qur’an.[20]
Kemudian Zaid berjuang
untuk mengumpulkan Al Qur’an sampai mencarai akhir surat Attaubah yang tidak
ada padanya dan hanya didapatkanya pada hafalan Abu Huzaimah Al Anshari[21],
Al Qur’an yang dikumpulkan dan ditulis ini di pegang terus oleh Abu Bakar
hingga Akhir hayatnya, al Quran ini juga di jaga oleh Umar hingga berakhir masa
kekhalifahannya dan terakhir di pegang oleh Hafsah binti Umar.[22]
Penulisan al Qur’an ini
pada dasarnya bukan hanya Zaid sendiri yang memiliki catatan tersebut namun
masih banyak sahabat-sahabat yang lain, namun haya Zaid yang dipercaya oleh Abu
karena Zaid salah satu sahabat yang terkenal menjadi juru tulis wahyu dan
memeiliki hafalan yang kuat.[23]
Dalam pengumpulan al
Qur’an ini ada dua teks al Qur’an pada awalnya yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat Islam yang pertama yaitu teks yang dibuat oleh Zaid bin Tzabit
sendiri dan yang kedua adalah teks yang dibukukan oleh Ibnu Mas’ud, teks Ibnu
Mas’ud ini kebanyakan di pakai di daerah Kuffah di Irak sebagaimana Ubay bin
Ka’ab juga memiliki kitab kodifikasi sendiri namun kemudian di gantikan dengan
Rasm Utsmani.[24]
Menurut penilaian para
ahli mufassir ketika mengkaji naskah yang dimiliki Ibnu Mas’ud ada terdapat
beberapa perbedaan dengan nash yang di
buat oleh Zaid bin Tsabit. Salah satu contoh surat Contoh yang terdapat
pada surat al Baqarah ayat 275 dimulai dengan kata-kata Allathiina
yaakuluunar-ribaa laa yaquumuuna-" Orang-orang yang memakan riba tidak
akan berdiri". Teks Ibn Mas'ud memiliki penggnalan yang sama tapi
setelah kata terakhir ada ditambahkan ekspresi yawmal qiyaamati, yaitu,
mereka tidak akan mampu berdiri pada "hari kiamat". Varian ini
disebutkan dalam Abu Ubaid itu Kitab Fadhail Al-.[25]
Dan contoh lain Surah
5.91, dalam teks standar, berisi ajakan fasiyaamu tsalaathati ayyaamin'-"puasa
selama tiga hari". Teks Ibn Mas'ud setelah kata terakhir, mutataabi'aatin
kata sifat, yang berarti tiga hari "berurutan". Varian berasal
dari at- dan juga disebutkan oleh Abu Ubaid. Ini adalah bacaan signifikan
yang ditemukan dalam teks Ubay bin Ka'b
dalam teks Ibn Abbas dan murid Ibn Mas'ud Ar-Rabi bin Khuthaim.[26]
Jadi faktor utama
timbulnya gagasan untuk mengumpulkan al Quran dan menulis ulang kembali karena
banyaknya para sahabat yang sebagain besar adalah para penghafal al Quran,
sahabat pada masa Khulafa al Rasyidin adalah ilmuwan sekaligus sebagai prajuri
yang berjuang menegakkan kalilmat tauhid.
Perang Yamamah adalah
pemicu awal terjadinya perang yang banyak menggugurkan para syuhada’ Islam Radiallahu
Anhum, menurut sejarah yang termasyhur diantara sahabat yang meninggal
tersebut diantaranya ada 70 orang sahabat yang dikenal kuat hafalannya,[27]
sehingga kejadian ini membuat khawatir Umar bin khahthab akan hilanbgnya al
Qur’an dengan meninggalnya sebagian besar penghafal. Peristiwa ini yang memicu
Umar mendesak Abu Bakar untuk memerintahkan pengumpulan Hadits, dan diantara
empat sahabat yng masyhur penulis wahyu, maka Zaid dipilih sebagai pengumpul
sebab Zaid selain penulis juga penghafal yang kuat dan Zaid selalu bersama
Rasulullah sejak masa remajanya.
Masa khalifah Usman bin
Affan al qur’an kembali di revisi ulang oleh khlifah, hal yang mendorong
timbulnya gagasan kodifikasi ulang atau yang terkenal dengan “rasm” yaitu
penulisan ulang terhadap nash-nash al Qur’an yang sudah di kodifikasikan
sebelumnya gagasan ini timbul didorong oleh perbedaan bacaan para sahabat
antara satu daerah dengan daerah lainnya, penyebab perbedaan bacaan al Qur’an
karena al Qur’an itu turun dengan loghat yang berbeda juga.[28]
Pemicu pertikaian dalam
membaca al Qur’an ini timbul pada saat pertempuran Armenia dan Azarbaijan
dengan warga Irak dan terdapatlah perbedaan bacaan al Qur’an antara Huzaifah
dengan kelompok Irak kemudian Huzaifah mengirimkan surat kepada Usman untuk
mencarikan solusi atas kejadian tersebut, jangan samapai pertikaian ini
berujung pada rusaknya makna al Quran nantinya.[29]
Dikenal bahwa al Qur’an
tersebut turun dalam tujuh bahasa bangsa Qurays diwaktu itu, pendapat ulama
pada umumnya bahwa al Qur’an turun dengan 7 (tujuh) bahasa di antaranya; Qurays,
Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kanaah, Tamim, dan Yaman.[30]
Tujuh bahasa yang
digunakan tersebut termasuk tujuh bahasa bangsa Arab yang terkenal padanya
terdapat beberapa perbedaan secara bacaan sehingga perbedaan kecil ini
menyebabkan perselisihan dikalang sahabat dalam membaca Al Qur’an dan mereka
saling menyalahkan antra satu dengan yang lain. Peristiwa ini memicu terus
berlanjut sehingga khlalifah berinisiatif untuk menyatukannya dan lahirlah Rasm
usmani sebagai satu-satunya dasar pengambilan Nash al Qur’an, mushaf-mushaf
selain dari Rasm Usmani dihapuskan termasuk yang di buat Ibnu Mas’ud dengan
tujuan satu penyatuan umat Islam.
B. Tujuan Jam’ul Qur’an
pada masa Khulafa al Rasyidin
Selama kekhalifahan
Khulafa al Rasyidin terjadi dua kali perubahan yang siknifikan yang memberikan
kontribusi yang urgen demi terjaganya nash al Qur’an serta terjaganya persatuan
umat setelah wafanya nabi Muhammad SAW. Perubahan ini menunjukkan betapa
seriusnya permasalahan diwakktu itu dan betapa bersungguh-sunguhnya para
sahabat dalam menjaga al Qur’an sebagai Qonun utama umat Islam.
Tanpa ada usaha yang
dilakukan oleh sahabat pada waktu itu kemungkinan besar al Qur’an akan tetap
diperdebatkan kebenarannya namun Allah SWT sendiri sudah menjamin akan menjaga
al Qur’an sebagaimana firmannya “sesungguhnya kami turunkan al Qur’an dan kami
akan menjaganya” menurut penafsiran ini merupakan otoritas Allah dalam menjaga
al Qur’an dengan menanamkannya dalam dada setiap umat Islam sehingg kecil
kemungkinan terjadi penyelewengan.
Adapun tujuan utama
pengumpulan al Qur’an itu ada dua bentuk di antaranya:
1. Pada masa khalifah Abu
Bakar terjadi pergolakan politik dan agama sehingga muncul gerakan syahid untuk
menumpas orang-orang yang murtad serta orang-orang yang enggan membayar zakat.
Pergolakan tersebut banyak menyebabkan syahidnya sahabat-sahabat di medan pertempuran,
kekhawatiran timbul dari Umar bin Khathab akan banyaknya para penghafal al
Qur’an yang syahid sedangkan al Qur’an dalam wujud nyata masih ditulis di
berbagai wadah yang tidak terkonsentrasi pada satu tempat. Kondisi seperti ini
mendorong kodifikasi al Qur’an dengan tujuan teradapat dalam satu kumpulan
mushhaf yang sudah ditarjih oleh para pengahafal al Qur’an serta diyakini oleh
semua penulis al Qur’an yang masyhur tersebut.
2. Pada masa khalifah
Usman bin Affan tujuan penyatuan al Qur’an berbeda alasannya dengan apa yang
dilkukan Abu Bakar, pada masa khalifah ketiga Islam sudah bekembang pesat dan
tersebar keberbagai tempat yang tidak hanya berpusat pada jazirah Arab saja
namun juga sudah menyebar keberbagai daerah, sedanglkan pada awalnya al Qur’an
tersebut diturunkan dalam tujuh bahasa resmi bangsa Arab. Bahasa-bahasa
tersebut digunakan oleh seluruh masyarakat Islam sehingga ketiaka bertemu
masyarakat antar daerah timbul perselishan antara satu dengan yang lain dan
saling menyelahkan antara satu dengan yang lain, sebaga contoh mushaf yang
dicatat zaid bin Tsabit berbeda dengan bacaan yang dibuat Ibnu Mas’ud, namun
secara makna tidak berbeda hanya dalam bacaan saja yang berbeda. Maka dari
permasalaha ini timbul inisiatif untuk
menjadikannya dalam satu bahasa yang dikenal dengan “Rasm Usamni” kemudian
kitab ini di perbanyak menjadi lima buah.[31]
[1]
Prof.Dr.H. Yunahar ilyas kuliah ulumul
Qur’an , ( Benteng Yogyakarta: ITQAN Publisishing, 2014), hal. 34-41.
[2]
Syekh Muhammad ‘Ali As-shabuni, At-Tibyan
fi ‘Uluum Al-Quran. (Indonesia: Dar al-kutub Al- Islamiyyah, 1424 H/2003 M)
h. 34
[3]
Manna’ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi
‘ulum al- Quran,( Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M) h.
105
[4]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 33
[5]
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (e.book:
haditsWeb 3.0)
[6]
Manna’ Khalil al-Qattan, Terjemahan Drs. Mudzakkir AS, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004) Cet. 8,
h. 90-91
[7]
Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka
Azzam, 2002) h. 44
[8]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum
al-Qur`an, (Riyadl : Mansyurat al-’Ashr al-Hadits, 1393 H/1973 M), h.
118-119
[9]
Muhammad ‘Aliy as-Shabuniy, at-Tibyan fi
‘Ulum al-Qur`an, (Beirut : ‘Alam al-Kutub, 1405 H/1985 M), h. 49
[10]
Jalaaluddin Al-Suyuti Al-Syafi’I, Al-Itqan
fi ‘Ulum Al-Quran. (Beirut: Dar el-Fikr, 1425-1426 H) h. 164
[11]
Prof. Dr. M. M A’zami, The History of The
Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[12]
Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar al-’Asqalaniy, Fath al-Bari bi Syarh Shahih
al-Bukhariy, (ebook,Beirut : Dar al-Fikr, 1420 H/2000 M), Jilid 10, h. 13
[13]
Ibnu Hajar Al-Atsqalani, terjemahan Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari syarah Shahih Al Bukhari, (Jakarta selatan : Pustaka
Azzam, 2002) h. 47
[14]
Prof. Dr. M. M A’zami, The
History of The Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[15] Al-quran, 4:95
[16] [16]
Prof. Dr. M. M A’zami, The
History of The Quranic Text from revelation to compilation, (ebook: UNIVERSITAS ISLAM INTERNATIONAL MALAYSIA (UIIM), 2005)
[17] Manna’ Khalil
al-Qattan, Terjemahan Drs. Mudzakkir AS,
Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, 2004) Cet. 8, h.
185-186
[18] Drs.Hafidz
abdurrahaman ulumul quran praktis (
BOGOR : cv idea Pustaka utama , 2003) hal, 82&86`
[19] Kejadiannya terjadi pada tahun ke
12 hijriah pada saat perang menumpas nabi palsu Musailamah al Kazzab di bawah
pimpinan Khalid bin Walid.
[20] Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy,
Ulumul Qur’an min Khilali Muqaddimah At Tafasir, (Beirut: Arisalah, 2004
M/1465 H), 46-48
[21] Yang dimaksud dengan Bau Huzaimah
disini adalah Abu Huzaimah bin Ausi bin Zaid bin Usram bin Sa’labah bin Amru
bin Malik bin Najar Al Anshari bukan Abu Huzaimah bin Tsabit Al Anshari bin Al
Fakihu bin Sa’labah bin Sa’adah Al Ausi yang mengetahui akhir dari surat AL
Ahzab, ibid.,h. 81
[22] Muhammad Salim Muhisin, Tarikh
Al Qur’an Al Karim, (Sanah Tsaiyah Jumadil Akhir, 1402 H), h. 136
[23] John Gilchrist, The Codification of the Qur'an Text a
Comprehensive Study of the Original Collection of the Qur'an Text and the Early
Surviving Qur'an Manuscripts,
(South of Africa, MERCSA, 1989), h. 21-23dan 27
[24] Ibid., h. 63
[25] Ibid., h. 69
[27] Muhammad Salim Muhisin, Op. Cit,
h. 133
[28] Mannaal Khaththan, Op. Cit., h.
128-129
[29] Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy,
Op. Cit., h. 86
[30] Ibid., h. 158
[31] Ada terdapat beberapa perbedaan
tetang jumlah kitab Rasm Usmani ini, ada yang mengatakan tujuh buah yang
dikirim ke Makkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah, ada
juga yang menyatakan emapat buah yang
dikirimkan ke Iraq, Syam, Mesir, dan Kuffah sedangkan menurut sayuti jumlah
yang paling masyhur adalah lima buah, dan kitab-kitab yang dibukukan pada masa
usman dan Abu Bakar tersebut tidak ada satu pun yang ditemui pada zaman
sekarang., Ibid., h.134
Komentar
Posting Komentar