jam'ul qur'an
JAM’UL
QUR’AN PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
A.
Pengertian
ulumul Qur’an
Ulumul
qur’an secara etimologis terdiri atas dua kata, yaitu : ulum dan al-qur’an yang kata ulum yang merupakan bentuk jamak
(pural) dari kat ilmun yang berarti ilmu. Ilmu yang di maksud, sebagaimana
pendapat abu syahbah adalah sejumlah materi pembahasan yang di batasi kesatuan
tema atau tujuan. Di dalam bahasa indonesi jika disebutkan ilmu, maka di dalam
terdiri dari sekumpulan teori tentang pembahsan ilmu tersebut. Jika kita mempelajari
ilmu tasawuf di dalamnya terdapat pembahsan tasawuf,
Adapun
al-qur’an menurut pandangan etimologis, merupakan bentu masdar dari kata qara’a
yang bermakna bacaan . Al-qur'an merupakan bacaan yang sempurna. Hal ini dapat
di katakana oleh AL-lahyani bahwa kata al-qur’an merupakn kata jadian dari kata
qara’a yang kemudian menjadi nama kitab Allah yang di turunkan kepada Nabi
Muhammad
Adapun
pengertin Al-qur’an secara termonologis sebgaiman dikemukakan Al-Qur’an adalah
kitab yang di turunkan kepada rasulullah SAW. Yang di tulis dalam.mushaf,
diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan .[1]
B. Khulafaur
rasyidin
Ketika
nabi menerima panggilan ilahi dan menyebut umar bergabung dengannya, Abu bakar
adalah satu dari pemeluk pertama yang masuk islam. Kecintaannya kepada alam
sedemikian mungkin sehingga tak berapa lamasetelah ia bergabung dalam
barisannya dia memanfaatkan seluruh raga dan kekayaannya untuk menyiarkan missi
yang suci ini banyak jiwa insane yang melihat cahaya islami dari dirinya.[2]
Selama
dua tahun satu kwartal pemerintah abu bakar islam kembali lagi di hidupkan. Api
pemberontakan di seluruh Arabia telah dipadamkan dengan kekuasaan islam dengan
mantap di tegakkan. Tidak, suatu daya kekuatan baru di suntikkan ke dalamnya
maka pada saatnya tiba dia mampu dalam satu pukulan menjungkalkan dua kebiasaan
raksasa pada masa itu . dalam masa perinthanya yang pendek itu diusung
pengumpula Al-Qur’an pengumpula Al-Qur’an seering kali disalah mengertikan ini
berarti tiada lain adalah dari semua hidup nabi sucu telah didiktekan kepada
sekretarisan waktu ke waktu selama ayat-ayat tersebut dirurunkan dikumpulkan
engan satu jilid dengan susunan yang sah oleh nabi letaknya. Praktik yang di
lakukan nabi adalah bila suatu aayat atau surat di turnkan ,ada para
sekretarias yang selalu siaga untuk menulisnya ada juga yang menghaalkannya
dalam ingatan sekarang hendaknya dicatat bahwa wahyu dari surat-surat tertentu
itu bisa berlangsung bertahun-tahun. Karena mereka diturunkan sedikit demi
sedikit jadi, pada saat satu wahyu segra turun yang merupakan dari bagia surat
yang sudah diwahyukan sebelumnya .
Nabi
ketka menggerakkan pemerintahanya untuk menulis dan mengingatnya dan kemudian
akan menunjukkan di surat mana dari surat itu harus disisipkan, jadi seluruh Al-Qur’an
di atur dan di susun dalam susunan yang benar-bnar asli sesuai dengan yang kita
pegang sekarang ini. Dengan susunan asli inilah Al-Qur’an disimpan dalam
ingatan manusia susunan dan pegaturannya dilakukan dibawah arahan nabi sendiri,
Ketika
al-qur’an telah diwahukan secar keseluruhan akibatnya, dalam pertempuran di
yamamah banyah hafizh al-qur’an mati syahid, umar mengingatkan abu bakar bahwa
ayat untuk mengumpulkan semacam itu telah tiba, sehingga bilamana semua yang
hafal al-qur’an roboh, dalam pertempuran , al-qur’an tetap tidak tersentuh
dengan susunan yang sama, karya yang penting ini seketika ditangani dan
dipercayakan kepada Zain bin thasib, penulis yang telah mencatat sebagian
surat-surat madaniyah, dan dia mengumpulkan bahan yang mengandung manuskrip
inii serta menjadikannya satu jilid, inilah semuanya yang dimaksud dengan
“pengumpulan al-qur’an” [3]
Al Qur’am merupakan sumber Nash yang paling utama dan tidak ada hukum
yang tidak disandarkan kepada al Qur’an. Setiap melakukan istinbat hukum perlu
ada rujukan dari al Qur’an apabila tidak ada dalam al Qur’an baru dipakai
sumber hukum yang lain selagi tidak bertentangan dengan al Qur’an.
Pada awal keislaman ketika Rasulullah SAW masih hidup al Qur’an masih
ditulis dan disimpan di dalam dada para sahabat dan sedikit yang menulis al
Qur’an kecuali orang-orang ertentu yang diberi wewenang oleh Rasul untuk
menulisnya.
Para sahabat terutama pada Zaman Khulafa al Rasyidin telah berjasa besar
dalam emngkodifikasikan al Qur’an sehingga kita dapat menemui al Qur’an dalam
bentuk teks, bagi umat Islam yang bukan orang Arab dapat menghafalnya melalui
kitab-kitab yang sudah dtarjih tersebut.
Al Qur’an yang kita dapati sekarang adalah hasil karya Khulafa al
Rasyidin dengan modifikasi-modifikasi yang berkembang guna memudahkan kita
dalam memahami al Qur’an dan ini merupakan salah satu cara Allah SWt memelihari
al qur’an yang diturunkannya kepada kita.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jam’ul Qur’an pada masa Klulafa al
Rasyidin
Mengetahui kata-kata Jam’ul Qur’an perlu kita
mengenal pengertiannya secara bahasa, menurut fairuz Abady di dalam bukunya Tartibul
Qomus Almuhit menyatakan bahwa al jam’u adalah menyatukan sesuatu yang
bertebaran, menurut pendapat Jauhuri dalam Assahah mengatakan bahwa al Jam’u
yaitu mengumpulkan sesuatu yang menjadikannya dalam sebuah kumpulan, dengan
mengumpulkan beberapa koleksi yang berbeda-beda dari berbagai tempat hingga
menjadi sebuah kumpulan.[4]
Jadi makna aljam’u adalah proses pengumpulan dan penulisan tercakup dalam
berbagai koleksi yang tersebar diberbagai tempat dan dikumpulkan dalam satu
kumpulan khusus yang bisa menjadikan sesuatu tersebut dapat di ambil untuk
menjadi rujukan.[5]
Manna al Khaththan menyatakan jam’ul tersebut dalam
dua definisi secara umum yaitu :
1.
Al Jam’u bermakana hafalan, al Qur’an dijaga oleh para sahabat dengan
hafalannya maka setiap ingin mengetahui isi al Qur’an tersebut Rasulullah
menyuruh para sahabat untuk memenemui 7 orang sahabat yang biasa dipercayai
oleh Rasulullah sebagai ajudannya dalam menghafal diantaranya yaitu; Abdullah
bin Mas’ud, Salim bin Mu’qal budanya Abi Huzaifah, Mu’az bin Jabal, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.[6]
2.
Aljam’u bermakna mencatat keseluruhan ayat-ayatnya. Membedakan antara
ayat dan surat atau menertibkan ayat-ayat saja, atau menertibkan ayat dan surat
di dalam satu mushaf yang mencakup
seluruh surat. Sahabat yang dipercayakan oleh Rasulullah dalam menulis al
Qur’an adalah Ali bin Abu Tahlib, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit.[7]
Pada masa awal Islam al Qur’an sudah dicatat oleh
sahabat dalam berbagai wadah seperti ditulis di pelepah-pelepah korma dan
lempengan batu dan lainya, namun kegiatan ini masih bersifat temporari tidak
terkumpul dalam satu wadah tertentu, sehingga masih bertebaranan dimana-mana.
Setelah wafatnya Rasulullah kegiatan pengumpulan al
Qur’an berkembang, tidak hanya dalam bentuk penulisan di lembaran-lembaran yang
bertebaran saja namun penulisan ini dimaksudkan untuk mengumpulknnya dalam satu
kumpulan mushaf sehingga proses tersebut dilakukan guna terwujudnya sebuah
kumpulan kitab al Qur’an.
Dapat disimpulkan bahwa jam’ul Qur’an berarti
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para sahabat setelah wafatnya Nabi SAW
dengan jalan mengumpulkan seluruh mushaf dan catatan serta hafalan-hafalan yang
tersebar sehingga terkumpul dalam satu kumpulan yang satu dan terjamin
kebenarannya dengan ijtihad para sahabat dalam menjaga al Qur’an itu sendiri.
B. Faktor-faktor Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al
Rasyidin
Pada awalnya proses pengumpulan al Qur’an pada masa
Khalifah Abu Bakar terjadi pertentangan antara para sahabat sehingga memerlukan
ijtihad untuk meyakinkan khalifah, sahabat yang menggagas pengumpulan al Quran
ini adalah Umar bin Khaththab, pada awalnya gagasan Umar tersebut ditolak oleh
Abu Bakar, namun setelah Umar meyakinkan Abu Bakar betapa pentingnya
pengumpulan al Qur’an ini, ketika Abu Bakar menyampaikan hal yang sama kepada sahabat
Zaid bin Harits beliau juga menolak tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar
dan Umar barulah Zaid menerima dan mulai mengumpulkannya.
Peristiwa pertentangan antara sahabat dalam
mengumpulkan al Qur’an ini diisyaratkan dengan khabar yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jurair dari anak Zaid bin Tsabit Al
Anshari dari bapaknya berkata tatkala banyaknya sahabat yang bergugguran pada
perang Yamamah[8] maka Umar bin Khaththab
r.a. mendatangi Abu Bakar r.a. mengatakan sungguh para Sahabat Rasulullah SAW
yang berada pada perang Yamamah sudah terdesak seperti terengah-engahnya kuda
di neraka. Saya takut tidak akan bisa bertemu dengan mereka lagi, sedangkan
mereka adalah penghafal al Qur’an, dengan sahidnya mereka akan memudarnya al
Qur’an dan akan terlupakan jika tidak di kumpulkan dan di tulis ulang, pada
awalnya Abu Bakar menolak melakukannya karena tidak mungkin dia membuat sesuatu
yang tidak dilakukan oleh Rasulullah hal yang sama juga dilakukan Zaid terhadap
gagasan tersebut namun kemudian Umar meyakinkan keduanya. Kemudian setelah Umar
bisa meyakinkan keduanya baru Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mengumpulkan dan menulis Al Qur’an. Dalam kisah yang lain menyatakan bahwa saat
setelah Umar meyakinkan Zaid kemudian Umar pergi lalu Zaid merasa mendapar petunjuk
dalam dirinya bahwa apa yang disampaikan Umar tersebut adalah benar. Baru Zaid
memulia mengumpulkan dan menulis Al Qur’an.[9]
Kemudian Zaid berjuang untuk mengumpulkan Al Qur’an
sampai mencarai akhir surat Attaubah yang tidak ada padanya dan hanya didapatkanya
pada hafalan Abu Huzaimah Al Anshari[10],
Al Qur’an yang dikumpulkan dan ditulis ini di pegang terus oleh Abu Bakar
hingga Akhir hayatnya, al Quran ini juga di jaga oleh Umar hingga berakhir masa
kekhalifahannya dan terakhir di pegang oleh Hafsah binti Umar.[11]
Penulisan al Qur’an ini pada dasarnya bukan hanya
Zaid sendiri yang memiliki catatan tersebut namun masih banyak sahabat-sahabat
yang lain, namun haya Zaid yang dipercaya oleh Abu karena Zaid salah satu
sahabat yang terkenal menjadi juru tulis wahyu dan memeiliki hafalan yang kuat.[12]
Dalam pengumpulan al Qur’an ini ada dua teks al
Qur’an pada awalnya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam yang
pertama yaitu teks yang dibuat oleh Zaid bin Tzabit sendiri dan yang kedua
adalah teks yang dibukukan oleh Ibnu Mas’ud, teks Ibnu Mas’ud ini kebanyakan di
pakai di daerah Kuffah di Irak sebagaimana Ubay bin Ka’ab juga memiliki kitab
kodifikasi sendiri namun kemudian di gantikan dengan Rasm Utsmani.[13]
Menurut penilaian para ahli mufassir ketika mengkaji
naskah yang dimiliki Ibnu Mas’ud ada terdapat beberapa perbedaan dengan nash
yang di buat oleh Zaid bin Tsabit. Salah
satu contoh surat Contoh yang terdapat pada surat al Baqarah ayat 275 dimulai
dengan kata-kata Allathiina yaakuluunar-ribaa laa yaquumuuna-"
Orang-orang yang memakan riba tidak akan berdiri". Teks Ibn Mas'ud
memiliki penggnalan yang sama tapi setelah kata terakhir ada ditambahkan
ekspresi yawmal qiyaamati, yaitu, mereka tidak akan mampu berdiri pada
"hari kiamat". Varian ini disebutkan dalam Abu Ubaid itu Kitab
Fadhail Al-.[14]
Dan contoh lain Surah 5.91, dalam teks standar,
berisi ajakan fasiyaamu tsalaathati ayyaamin'-"puasa selama tiga
hari". Teks Ibn Mas'ud setelah kata terakhir, mutataabi'aatin
kata sifat, yang berarti tiga hari "berurutan". Varian berasal
dari at- dan juga disebutkan oleh Abu Ubaid. Ini adalah bacaan signifikan
yang ditemukan dalam teks Ubay bin Ka'b
dalam teks Ibn Abbas dan murid Ibn Mas'ud Ar-Rabi bin Khuthaim.[15]
Jadi faktor utama timbulnya gagasan untuk mengumpulkan
al Quran dan menulis ulang kembali karena banyaknya para sahabat yang sebagain
besar adalah para penghafal al Quran, sahabat pada masa Khulafa al Rasyidin
adalah ilmuwan sekaligus sebagai prajuri yang berjuang menegakkan kalilmat
tauhid.
Perang Yamamah adalah pemicu awal terjadinya perang
yang banyak menggugurkan para syuhada’ Islam Radiallahu Anhum, menurut
sejarah yang termasyhur diantara sahabat yang meninggal tersebut diantaranya
ada 70 orang sahabat yang dikenal kuat hafalannya,[16]
sehingga kejadian ini membuat khawatir Umar bin khahthab akan hilanbgnya al
Qur’an dengan meninggalnya sebagian besar penghafal. Peristiwa ini yang memicu
Umar mendesak Abu Bakar untuk memerintahkan pengumpulan Hadits, dan diantara
empat sahabat yng masyhur penulis wahyu, maka Zaid dipilih sebagai pengumpul
sebab Zaid selain penulis juga penghafal yang kuat dan Zaid selalu bersama
Rasulullah sejak masa remajanya.
Masa khalifah Usman bin Affan al qur’an kembali di
revisi ulang oleh khlifah, hal yang mendorong timbulnya gagasan kodifikasi
ulang atau yang terkenal dengan “rasm” yaitu penulisan ulang terhadap
nash-nash al Qur’an yang sudah di kodifikasikan sebelumnya gagasan ini timbul
didorong oleh perbedaan bacaan para sahabat antara satu daerah dengan daerah
lainnya, penyebab perbedaan bacaan al Qur’an karena al Qur’an itu turun dengan
loghat yang berbeda juga.[17]
Pemicu pertikaian dalam membaca al Qur’an ini timbul
pada saat pertempuran Armenia dan Azarbaijan dengan warga Irak dan terdapatlah
perbedaan bacaan al Qur’an antara Huzaifah dengan kelompok Irak kemudian
Huzaifah mengirimkan surat kepada Usman untuk mencarikan solusi atas kejadian
tersebut, jangan samapai pertikaian ini berujung pada rusaknya makna al Quran
nantinya.[18]
Dikenal bahwa al Qur’an tersebut turun dalam tujuh
bahasa bangsa Qurays diwaktu itu, pendapat ulama pada umumnya bahwa al Qur’an
turun dengan 7 (tujuh) bahasa di antaranya;
Qurays, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kanaah, Tamim, dan Yaman.[19]
Tujuh bahasa yang digunakan tersebut termasuk tujuh
bahasa bangsa Arab yang terkenal padanya terdapat beberapa perbedaan secara
bacaan sehingga perbedaan kecil ini menyebabkan perselisihan dikalang sahabat
dalam membaca Al Qur’an dan mereka saling menyalahkan antra satu dengan yang
lain. Peristiwa ini memicu terus berlanjut sehingga khlalifah berinisiatif
untuk menyatukannya dan lahirlah Rasm usmani sebagai satu-satunya dasar
pengambilan Nash al Qur’an, mushaf-mushaf selain dari Rasm Usmani dihapuskan
termasuk yang di buat Ibnu Mas’ud dengan tujuan satu penyatuan umat Islam.
C. Tujuan Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin
Selama kekhalifahan Khulafa al Rasyidin terjadi dua
kali perubahan yang siknifikan yang memberikan kontribusi yang urgen demi
terjaganya nash al Qur’an serta terjaganya persatuan umat setelah wafanya nabi
Muhammad SAW. Perubahan ini menunjukkan betapa seriusnya permasalahan diwakktu
itu dan betapa bersungguh-sunguhnya para sahabat dalam menjaga al Qur’an
sebagai Qonun utama umat Islam.
Tanpa ada usaha yang dilakukan oleh sahabat pada
waktu itu kemungkinan besar al Qur’an akan tetap diperdebatkan kebenarannya
namun Allah SWT sendiri sudah menjamin akan menjaga al Qur’an sebagaimana
firmannya “sesungguhnya kami turunkan al Qur’an dan kami akan menjaganya”
menurut penafsiran ini merupakan otoritas Allah dalam menjaga al Qur’an dengan
menanamkannya dalam dada setiap umat Islam sehingg kecil kemungkinan terjadi
penyelewengan.
Adapun tujuan utama pengumpulan al Qur’an itu ada
dua bentuk di antaranya:
1.
Pada masa khalifah Abu Bakar terjadi pergolakan politik dan agama
sehingga muncul gerakan syahid untuk menumpas orang-orang yang murtad serta
orang-orang yang enggan membayar zakat. Pergolakan tersebut banyak menyebabkan
syahidnya sahabat-sahabat di medan pertempuran, kekhawatiran timbul dari Umar
bin Khathab akan banyaknya para penghafal al Qur’an yang syahid sedangkan al
Qur’an dalam wujud nyata masih ditulis di berbagai wadah yang tidak
terkonsentrasi pada satu tempat. Kondisi seperti ini mendorong kodifikasi al
Qur’an dengan tujuan teradapat dalam satu kumpulan mushhaf yang sudah ditarjih
oleh para pengahafal al Qur’an serta diyakini oleh semua penulis al Qur’an yang
masyhur tersebut.
2.
Pada masa khalifah Usman bin Affan tujuan penyatuan al Qur’an berbeda alasannya
dengan apa yang dilkukan Abu Bakar, pada masa khalifah ketiga Islam sudah
bekembang pesat dan tersebar keberbagai tempat yang tidak hanya berpusat pada
jazirah Arab saja namun juga sudah menyebar keberbagai daerah, sedanglkan pada
awalnya al Qur’an tersebut diturunkan dalam tujuh bahasa resmi bangsa Arab.
Bahasa-bahasa tersebut digunakan oleh seluruh masyarakat Islam sehingga ketiaka
bertemu masyarakat antar daerah timbul perselishan antara satu dengan yang lain
dan saling menyelahkan antara satu dengan yang lain, sebaga contoh mushaf yang
dicatat zaid bin Tsabit berbeda dengan bacaan yang dibuat Ibnu Mas’ud, namun
secara makna tidak berbeda hanya dalam bacaan saja yang berbeda. Maka dari
permasalaha ini timbul inisiatif untuk
menjadikannya dalam satu bahasa yang dikenal dengan “Rasm Usamni” kemudian
kitab ini di perbanyak menjadi lima buah.[20]
D. Hikmah Jam’ul Qur’an pada masa Khulafa al Rasyidin
Perjuangan para sahabat dari masa Khulafa al
Rasyidin hingga sekarang sangat berati sekali dalam pengembangan al Qur’an
tanpa da usaha dan peranserta meraka maka al Qur’an yang kita dapati saat ini
belum tentu terbukukan dengan baik yang berujung seperti hancurnya
orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika
mendapati Zabur dan Injil sebagai kitabnya, isi dan maknanya sudah berubah yang
dibuat dengan sengaja oleh orang-orang sesudah nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.
Adapun hikmah yang dapat kita ambil dari hasil
kodifikasi yang sudah dilakukan oleh sahabat-sahabat Radiallahu Anhum ini
antara lain:
1.
Ijmak merupakan dasar ketiga dari istinbat hukum sebaba dapat kita lihgat
ketika Abu Bakar tidak langsung menolak atau menyuruk Zaid bin Tsabit untuk
mengkodifikasikan al Qur’an.
2.
Dalam menetapkan kebenaran dan memutusan sesuatu perlu dilakukan ijtihad
yang mendalam serta dibutuhkan saksi yang dapat dipercaya kebenarannya, seperti
Zaid dalam mencara akhir surat Attaubah yang didapatnya dari abu Hazaifah yang
memiliki hafalan yang kuat.
3.
Dengan prakarsa Umar bin Khaththab tersebut al Qur’an dapat di kumpulkan
dari yang semula berserakan dipenjuru kota Mekkah dan Medinah hingga dalam satu
Mushaf, tanpa ada upaya yang dilakukan pada zaman Abu Bakar tersebut belum
tentu al Quran terbukukan hingga sekarang.
4.
Upaya yang dilakukan Kalifah Usman bin Affan membuahkan hasil persatuan
umat Islam, kalu tidak bisa jadi antara satu daerah dengan daerah lain berbeda
bacaannya sehingga akan terpecah oleh karena berbeda pemahan bahkan akan
berakibat pada istinbat hukum.
5.
Suatu perbuatan jadid diperboleh malahan dianjurkan selagi bertujuan demi
kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata.
[1] HERI
GUNAWAN ULUMUL QUR’AN (BANDUNG CV
Arfino raya bandung 2015 ) hal. 1-2
[2][2][2]
MAULAN MUHAMMAD EARLY CALIPHATE (
JAKARTA Darul kutubil islamiyah 2007)hal, 9
[3] MAULANA
MUHAMMAD EARKY CALIPHATE ( JAKARTA
DARUL KUTIBUL SILAMIYAH 2007) HAL, 69-71
[4] Ali bin Sulaiman Al ‘Abid, Jamul
Qur’anul Karim Hafzan wa kItabatan, Maktabah Samilah Vol. 1
[5] Ibid.
[6] Mannaal Khaththan, Mabahis fi
Ulumil Qur’an, ( Cet.2), h. 119
[7] Ibid., h. 124
[8] Kejadiannya terjadi pada tahun ke
12 hijriah pada saat perang menumpas nabi palsu Musailamah al Kazzab di bawah
pimpinan Khalid bin Walid.
[9] Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy,
Ulumul Qur’an min Khilali Muqaddimah At Tafasir, (Beirut: Arisalah, 2004
M/1465 H), 46-48
[10] Yang dimaksud dengan Bau Huzaimah
disini adalah Abu Huzaimah bin Ausi bin Zaid bin Usram bin Sa’labah bin Amru
bin Malik bin Najar Al Anshari bukan Abu Huzaimah bin Tsabit Al Anshari bin Al
Fakihu bin Sa’labah bin Sa’adah Al Ausi yang mengetahui akhir dari surat AL
Ahzab, ibid.,h. 81
[11] Muhammad Salim Muhisin, Tarikh
Al Qur’an Al Karim, (Sanah Tsaiyah Jumadil Akhir, 1402 H), h. 136
[12] John Gilchrist, The
Codification of the Qur'an Text a
Comprehensive Study of the Original Collection of the Qur'an Text and the Early
Surviving Qur'an Manuscripts, (South of Africa,
MERCSA, 1989), h. 21-23dan 27
[13] Ibid., h. 63
[14] Ibid., h. 69
[16] Muhammad Salim Muhisin, Op. Cit,
h. 133
[17] Mannaal Khaththan, Op. Cit., h.
128-129
[18] Muhammad Sofa’ Syaikh Ibrahim Haqy,
Op. Cit., h. 86
[19] Ibid., h. 158
[20] Ada terdapat beberapa perbedaan
tetang jumlah kitab Rasm Usmani ini, ada yang mengatakan tujuh buah yang
dikirim ke Makkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah, ada
juga yang menyatakan emapat buah yang
dikirimkan ke Iraq, Syam, Mesir, dan Kuffah sedangkan menurut sayuti jumlah
yang paling masyhur adalah lima buah, dan kitab-kitab yang dibukukan pada masa
usman dan Abu Bakar tersebut tidak ada satu pun yang ditemui pada zaman
sekarang., Ibid., h.134
Komentar
Posting Komentar